Sunday, July 29, 2012

Cerpen Peterpan: Sally Sendiri


Jakarta, 16 Januari 1991

Pagi ini aku mencoba untuk menemuimu. Sekedar mencari kabar tentangmu yang tiba-tiba saja menghilang. Ibumu masih cantik seperti biasanya. Dengan hangat aku disuguhi teh hijau degan aroma melati. Tapi wajahnya lebih tirus dari terakhir aku melihatnya.

Kami saling menanyakan kabar. Ternyata benar, ibumu akhir-akhir ini kurang sehat. Lalu aku menanyakan tentang kamu. Maaf, karena aku akhirnya mencari tahu dari ibumu. Salahmu sendiri tidak pernah memberi kabar. Bahkan tak pernah membalas pesan dariku, walaupun hanya satu kata.

Tapi ternyata ini semua sia-sia. Bahkan semakin menusuk hatiku. Ibumu menyuruhku melupakanmu. Aku diminta kembali ke rumah dan jangan kembali kesana lagi. Katanya kita tidak mungkin bersatu. KENAPA?
Apakah karena penyakitku? Ya, akhir-akhir ini aku sering sekali mengunjungi rumah sakit. Kata ibu, hanya periksa kesehatan. Aku tahu ada yang salah dengan tubuhku. Tapi aku berjanji akan segera sembuh jika kamu datang. Aku mohon!


Jakarta, 20 Januari 1991

Maaf aku baru bisa menulis surat sekarang. Beberapa hari ini aku sedikit lemah. Ibuku meminta untuk beristirahat. Lagipula, ada puluhan surat yang belum kamu balas. Satu pun belum. Semenjak beberapa bulan yang lalu.

Anggap saja aku sedang menulis diari. Walalupun ada yang berkata bahwa orang yang gemar menulis diari adalah orang-orang yang tak mampu menyampaikan perasaannya. Seorang penyendiri dan tidak mampu berbagi. Tapi mereka tidak salah. Aku hanyalah sebuah raga yang kehilangan jiwa. Sulit berkomunikasi lagi dengan orang-orang sekitar. Aku atau mereka yang gila, Aku tak tahu!


Jakarta, 21 Januari 1991
Sayang, sebentar lagi ulang tahunmu. Aku sudah menyiapkan kado. Ayo rayakan! Tolong balas surat ini! Ini perintah!


Jakarta, 22 Januari 1991

Aku mengerti mungkin kamu bosan. Bisa jadi kamu sudah ada penggantiku di hatimu, pilihan orangtuamu. Aku tak percaya hati sepertimu mampu goyah oleh seorang cinta yang lain.  Coba kamu ingat lagi ketika dulu!

Setiap pulang sekolah, kita selalu menghabiskan waktu bersama. Hingga saat kuliah kita tak pernah berpisah. Setiap sabtu kamu datang kerumah untuk bermain catur dengan ayah. Kadang-kadang aku yang datang ke rumahmu untuk belajar memasak pada ibumu. Walaupun sering bertengkar, kita tak pernah berpikir untuk berpisah. Sampai akhirnya kita sama-sama lulus dan mulai bekerja. Kamu akhirnya dikirim ke Banjarmasin. Waktu itu kita menangis bersama, lalu kamu berjanji akan mengirim sekotak coklat setiap minggu. Masih ingatkah, Sayang?

Kini aku terlihat menyedihkan. Bagai seekor belalang yang kehilangan kakinya. Tak mampu ke rumah atau sekedar berlari dari musuh yang ingin menerkam. Bahkan mati pun lebih baik dari pada keadaanku sekarang.


Jakarta, 25 Januari 1991

Aku sakit. Kali ini benar-benar sakit. Sudah beberapa hari demam. Jika memang kamu sedang bersama kekasihmu, bolehkah aku meminta izin untuk meminjammu? Aku rindu.

***
Wanita berkerudung biru tua itu mencoba menahan tangisnya. Tangan-tangannya yang mulai keriput terus menggenggam jemari putrinya yang sangat lemah. Sesekali dia kembali membaca kembali tulisan tangan putrinya yang selama ini disimpan.

“Ibu tahu ini untuk Vino. Ibu tahu. Tapi ibu menyimpannya. Maaf, selama ini ibu yang menyimpannya.”

Matanya berkaca-kaca, sesekali meledak bagaikan kesedihan yang terlalu lama ditahan. Ditatapnya wajah putrinya yang sudah semakin pucat. Wajah yang dahulu selalu ceria kini kaku dan dipenuhi selang-selang yang menyakiti raganya. Sudah lima hari Sally terbaring dalam koma.

“Lupakan dia, Sally. Lupakan!” bisik wanita itu lirih. Terlalu lirih hingga tak ada yang jelas terdengar. Tertupi isakan yang berkumpul di rongga mulutnya. Memakan habis semua kata yang keluar dari dalam hati.

“Sadarlah! Kalian pernah bertemu. Lima bulan yang lalu. Vino mengajakmu pegi ke Bandung dan kecela.......”

Tak ada kata yang mampu meneruskan. Bisu mulai menggerogoti ruangan yang hanya dihadiri dua wanita. Antara mereka yang menangis dan yang tak mampu lagi menangis.

Sally kau selalu sendiri
Sampai kapanpun sendiri
Hingga kau lelah menanti
Hingga kau lelah menangis

No comments:

Post a Comment