Entah aku atau jam yang gelisah.
Bahkan aku meminta malam segera pulang. Dadaku seakan terbakar pernuh sesak. Ingin
menangis tapi hanya menambah lelah. Menunggu sepanjang malam untuk seseorang
yang selalu ingkar janji.
Aku masih diam di bangku taman,
depan tower apartement Sam. Ingin beranjak setelah tiga jam menunggu tetapi
terlalu letih. Hati yang mengamuk rasanya mampu membakar kalori seratus kali lipat
dari pada berlari satu kilometer. Antara sedih dan cemburu, atau kecewa!
Tiba-tiba dikejutkan oleh hape
yang begetar. Akhirnya dia menelepon balik. Setelah puluhan misscall yang mungkin menghujani
layarnya, dan diabaikan.
“Bajingan!”
“Sabar dulu, Dev. Sabar. Sabrina
sakit.”
“Jadi kamu enggak putus? Jadi....”
“Dev..Dev.. Sabrina sakit. Aku harus
bawa dia ke dokter.”
“lalu buat apa kamu minta aku
datang ke sini? Jaga kandang?”
“Dadakan. Pokoknya besok pagi aku
ke tempat kamu. Jelasin semuanya...”
“Gak perlu! Aku sudah tahu
jawabannya! SEMUANYA!”
Dengan
emosi kumatikan hape. Memang sudah hampir mati karena habis baterai. Kuputuskan
malam ini adalah malah terakhir: untuk menunggu.
__
Aku empat
tahun berpacaran dengan Samuel. Kami berhubungan jarak jauh. Karena tidak
nyaman dengan hubungan ini, aku meminta berpisah. Banyak hal-hal yang merusak
otak dan hati saat dulu bersama. Banyak sekali larangan-larangan. Bahkan saat
aku nge-band bersama teman-teman
kampus, dia marah hebat. Katanya aku wanita sendiri, yang lain lelaki semua. Namanya
juga nge-band, bukan kosidahan.
Seperti hubungan
pada umumnya, setiap pertengkaran diakhiri dengan permohonan maaf. Akhirnya
kata-kata sumpah serapah yang sebelumnya terucap, ditarik kembali.
“Aku begini
karna aku sayang, Dev. Maaf ya.”
Lagi-lagi
kata-kata Sam meluluhkan. Sekali, dua kali, hingga tak dapat dihitung.
Lama-lama lumayan membosankan. Seperti ritual cuci tangan sebelum makan. Sering
sekali. Bosan!
Karena
sering ribut oleh hal-hal yang sepele dan terkadang bukan sepele, lambat laun
kami pun berpisah. Bahkan saat aku sebentar lagi pulang karena sudah dalam masa
skripsi. Aku hanya ingin hidup, ingin merdeka. Aku punya masa muda.
“Bisa kau dengarkan aku.
Coba pahami aku. Kita tak bisa bertahan. Kita tak bisa menahan..”
Saat
sedang iseng melihat profile Sam di akun facebooknya, aku dikejutkan oleh
perubahan status facebook-nya. Pacar barunya bernama Sabrina Zenova. Entah ini
sengaja atau kebetulan, perubahan ini hanya selang tiga hari setelah kami
putus. Ini hanya sebuah status, hubungan aslinya mungkin sudah ada semenjak
sebelumnya. Mungkin.
_
Akhirnya
skripsiku kelar juga. Setelah wisuda aku kembali lagi ke kota asalku, Jakarta.
Berita kembalinya aku tersebar oleh teman-teman seangkatan satu sekolah dulu hingga sampai ke telinga
Sam. Semenjak itu Sam ada di sekitarku. Bagaimana aku bisa punya pacar baru
jika setiap jejak langkahku diikutinya. Setiap pulang kerja, Sam sudah menunggu
di depan kantor.
Berhari-hari
Sam membuktikan ketulusannya. Sisa-sisa sayang yang dulu mencoba dikubur,
kembali hidup. Tumbuh subur bersama lagu-lagu yang selalu kudengarkan. Lagu
yang selalu membahas kenanganku saat bersama Sam. Bahkan terkadang Sam
menyanyikan itu agar aku bisa lelap tidur. Sekeras-kerasnya hati akhirnya bisa
bocor juga. Seperti hempasan ombak yang menerpa karang di tempat yang sama. Aku
menyerah.
Tapi, aku
kini yang kedua! Eerrghh...
“Kau pegang arahku.
Coba tunjuk langkahku. Aku tak bisa bertahan. Aku takkan bisa menahan..”
__
Sudah
berjam-jam Sam tidak bisa berhenti menatap layar hapenya. Tertawa sendiri, lalu
terkadang terlihat keningnya berkerut seakan-akan sedang berpikir. Jemarinya menekan
keypad dengan cepat secara bergantian.
Aku hanya
duduk membaca novel Bumi Manusi, sesekali melirik ke arah Sam. Kadang berdehem
untuk memberi kode padanya kalau aku memperhatikannya.
“Itu
Sabrina, yah?”
“eh..”
“jawab
saja.”
“Iya..
ma..maaf. Cuma ngobrol aja.”
“Tapi aku
apa? Oh, maaf. Aku selingkuhan. Iya, kan?”
“bukan
begitu. Kamu kan tahu aku yang minta kamu balikan karena memang cuma kamu yang
aku sayang.”
“Sepertinya
kalian baik-baik saja. Katanya kamu ngerasa gak cocok sama dia. Mau putus lah.Kayanya
gue diakalin lagi nih!”
Kubanting
buku yang sudah lama melekat di tanganku. Sepertinya mood sedang
bertamasya jauh hingga otakku pun tak mampu berpikir panjang. Walaupun sedang
bersama, tapi nyatanya selalu ada dia. Iya, dia yang selalu membuat hape Sam
cerewet. Bahkan jarang sekali kami bisa nonton atau makan bersama diluar karena
takut ketemu teman-teman Sabrina yang sering mejeng di beberapa mall. ABJ: Anak Gaul Jakarta.
Sam pun
akhirnya menaruh kembali hape ke sakunya. Berkali-kali menggaruk-garukkan
rambut lalu diam. Kemudian mengulangnya lagi tapi takut mendekat. Akhirnya ruangan
ini menjadi lebih sunyi dari pada sebelumnya. Sebelum aku asik membaca dan dia
asik bermain hape. Bahkan lebih hening ketika kami tertidur.
Suasana
cangung-mencekam-mengesalkan ini akhirnya mulai pecah. “Kamu maunya apa?”
suaraku melemah.
“Aku
janji, Dev. Aku akan menyelesaikan malam ini. Janji!”
“Kamu
ingat, gak? Ini janji yang seberapa ratus kali? Kita sudah tujuh bulan begini. INGAT
GAK?”
Suaraku mulai meninggi. Beberapa kali kuhela napas dalam-dalam mencoba
meredam letupan-letupan apa yang membakar isi kepala.
“Ini yang
terakhir. Janji!”
_
Aku
datang ke tempat Sam dengan dress
coklat muda. Hari itu aku datang dengan memakai sepatu hak tinggi-entah-ini-berapa-centimeter
yang biasanya aku hindari. Akhirnya setelah ini aku kembali bersama Sam. Menunggu
akan menjadi dungu jika menunggu yang tiada ada akhirnya. Tapi, sekarang tidak.
Sam memilihku untuk menjadi tunangannya. Katanya kemarin malam.
Hari ini
sam menelepon agar aku datang ke tempatnya. Dia sudah memasak untuk makan
malam. Ternyata Sam masih romantis seperti dulu, walalupun masih sering
menjengkelkan sampai sekarang. Ya, aku akui itu!
Ketika
sampai di apartementnya, aku justru kehilangan kontak dengan Sam. “Apalagi ini?”
gerutuku. Berkali-kali kutelepon tapi tidak diangkat. Lagi-lagi emosiku
meninggi. Kembali lagi!
Satu jam
pertama, aku menunggu di depan kamarnya.
Dua jam
kemudian, aku mulai melepaskan sepatu yang menyakitkannya sama seperti menelan
kulit durian.
Tiga jam
kemudian, akhirnya aku pergi ke taman. Mencoba kembali mengingat-ingat aku yang
mencoba berdandan cantik dengan harapan yang sudah dikaitkan setinggi bintang, kemudian
melihat diri sendiri yang sekarang: menyedihkan.
”Dan hilang semua impianku.
Hilang semua harapanku. Hilang bersama resahku. Hilang terbawa arah..”
_
Akhirnya tiba juga harinya.
Tanggal yang selama ini tertera pada kartu undangan. Warna merah jambu dihiasi
tinta silver. Aku seperti bisa tersenyum bebas. Tak akan ada lagi yang
membebani pikiran. Kehidupan baruku dimulai, tanpa sakit hati lagi.
Rambutku disanggul keatas dengan
kebaya yang memilki warna yang senada dengan kartu undangan. Wajah dibubuhi
make up berwarna pastel dan ditambah gemerlap yang terpantul dari anting yang
menjuntai. Selangkah demi selangkah kaki ini mendekatkan pada karpet merah yang
menghiasi pelaminan. Ini akhirnya!
Saat aku menaiki tangga pertama,
banyak mata yang melihat ke arahku. Ada yang berbisik-bisik dan ada pula yang
pura-pura menjelajah sudut saat tatapannya tertangkap oleh mataku. Aku tak
perlu tahu apa yang dibicarakan. Aku tahu.
Tak ada yang dapat kulakukan
selain tersenyum. Selangkah demi selangkah aku mencapai pelaminan. Akhirnya aku
dapat menggenggam tangan Samuel lagi, dengan senyuman. Tanpa tangisan yang
sepertinya jika disatukan sudah membuat iri sang hujan.
“Selamat, Sam!”
“Perhatikan jejak langkahku.
Bersama harga diriku. Serendah-rendahnya namamu. Serendah-rendahnya namamu..”