Sunday, July 29, 2012

Dan Hilang


Entah aku atau jam yang gelisah. Bahkan aku meminta malam segera pulang. Dadaku seakan terbakar pernuh sesak. Ingin menangis tapi hanya menambah lelah. Menunggu sepanjang malam untuk seseorang yang selalu ingkar janji.

Aku masih diam di bangku taman, depan tower apartement Sam. Ingin beranjak setelah tiga jam menunggu tetapi terlalu letih. Hati yang mengamuk rasanya mampu membakar kalori seratus kali lipat dari pada berlari satu kilometer. Antara sedih dan cemburu, atau kecewa!

Tiba-tiba dikejutkan oleh hape yang begetar. Akhirnya dia menelepon balik. Setelah puluhan misscall yang mungkin menghujani layarnya, dan diabaikan.

“Bajingan!”

“Sabar dulu, Dev. Sabar. Sabrina sakit.”

“Jadi kamu enggak putus? Jadi....”

“Dev..Dev.. Sabrina sakit. Aku harus bawa dia ke dokter.”

“lalu buat apa kamu minta aku datang ke sini? Jaga kandang?”

“Dadakan. Pokoknya besok pagi aku ke tempat kamu. Jelasin semuanya...”

“Gak perlu! Aku sudah tahu jawabannya! SEMUANYA!”

Dengan emosi kumatikan hape. Memang sudah hampir mati karena habis baterai. Kuputuskan malam ini adalah malah terakhir: untuk menunggu.
__

Aku empat tahun berpacaran dengan Samuel. Kami berhubungan jarak jauh. Karena tidak nyaman dengan hubungan ini, aku meminta berpisah. Banyak hal-hal yang merusak otak dan hati saat dulu bersama. Banyak sekali larangan-larangan. Bahkan saat aku nge-band bersama teman-teman kampus, dia marah hebat. Katanya aku wanita sendiri, yang lain lelaki semua. Namanya juga nge-band, bukan kosidahan.

Seperti hubungan pada umumnya, setiap pertengkaran diakhiri dengan permohonan maaf. Akhirnya kata-kata sumpah serapah yang sebelumnya terucap, ditarik kembali.

“Aku begini karna aku sayang, Dev. Maaf ya.”

Lagi-lagi kata-kata Sam meluluhkan. Sekali, dua kali, hingga tak dapat dihitung. Lama-lama lumayan membosankan. Seperti ritual cuci tangan sebelum makan. Sering sekali. Bosan!

Karena sering ribut oleh hal-hal yang sepele dan terkadang bukan sepele, lambat laun kami pun berpisah. Bahkan saat aku sebentar lagi pulang karena sudah dalam masa skripsi. Aku hanya ingin hidup, ingin merdeka. Aku punya masa muda.

“Bisa kau dengarkan aku. Coba pahami aku. Kita tak bisa bertahan. Kita tak bisa menahan..”

Saat sedang iseng melihat profile Sam di akun facebooknya, aku dikejutkan oleh perubahan status facebook-nya. Pacar barunya bernama Sabrina Zenova. Entah ini sengaja atau kebetulan, perubahan ini hanya selang tiga hari setelah kami putus. Ini hanya sebuah status, hubungan aslinya mungkin sudah ada semenjak sebelumnya. Mungkin.
_

Akhirnya skripsiku kelar juga. Setelah wisuda aku kembali lagi ke kota asalku, Jakarta. Berita kembalinya aku tersebar oleh teman-teman seangkatan  satu sekolah dulu hingga sampai ke telinga Sam. Semenjak itu Sam ada di sekitarku. Bagaimana aku bisa punya pacar baru jika setiap jejak langkahku diikutinya. Setiap pulang kerja, Sam sudah menunggu di depan kantor.

Berhari-hari Sam membuktikan ketulusannya. Sisa-sisa sayang yang dulu mencoba dikubur, kembali hidup. Tumbuh subur bersama lagu-lagu yang selalu kudengarkan. Lagu yang selalu membahas kenanganku saat bersama Sam. Bahkan terkadang Sam menyanyikan itu agar aku bisa lelap tidur. Sekeras-kerasnya hati akhirnya bisa bocor juga. Seperti hempasan ombak yang menerpa karang di tempat yang sama. Aku menyerah.

Tapi, aku kini yang kedua! Eerrghh...

“Kau pegang arahku. Coba tunjuk langkahku. Aku tak bisa bertahan. Aku takkan bisa menahan..”
__

Sudah berjam-jam Sam tidak bisa berhenti menatap layar hapenya. Tertawa sendiri, lalu terkadang terlihat keningnya berkerut seakan-akan sedang berpikir. Jemarinya menekan keypad dengan cepat secara bergantian.

Aku hanya duduk membaca novel Bumi Manusi, sesekali melirik ke arah Sam. Kadang berdehem untuk memberi kode padanya kalau aku memperhatikannya.

“Itu Sabrina, yah?”

“eh..”

“jawab saja.”

“Iya.. ma..maaf. Cuma ngobrol aja.”

“Tapi aku apa? Oh, maaf. Aku selingkuhan. Iya, kan?”

“bukan begitu. Kamu kan tahu aku yang minta kamu balikan karena memang cuma kamu yang aku sayang.”

“Sepertinya kalian baik-baik saja. Katanya kamu ngerasa gak cocok sama dia. Mau putus lah.Kayanya gue diakalin lagi nih!”

Kubanting buku yang sudah lama melekat di tanganku. Sepertinya mood sedang bertamasya jauh hingga otakku pun tak mampu berpikir panjang. Walaupun sedang bersama, tapi nyatanya selalu ada dia. Iya, dia yang selalu membuat hape Sam cerewet. Bahkan jarang sekali kami bisa nonton atau makan bersama diluar karena takut ketemu teman-teman Sabrina yang sering mejeng di beberapa mall. ABJ: Anak Gaul Jakarta.

Sam pun akhirnya menaruh kembali hape ke sakunya. Berkali-kali menggaruk-garukkan rambut lalu diam. Kemudian mengulangnya lagi tapi takut mendekat. Akhirnya ruangan ini menjadi lebih sunyi dari pada sebelumnya. Sebelum aku asik membaca dan dia asik bermain hape. Bahkan lebih hening ketika kami tertidur.

Suasana cangung-mencekam-mengesalkan ini akhirnya mulai pecah. “Kamu maunya apa?” suaraku melemah.

“Aku janji, Dev. Aku akan menyelesaikan malam ini. Janji!”

“Kamu ingat, gak? Ini janji yang seberapa ratus kali? Kita sudah tujuh bulan begini. INGAT GAK?” 
Suaraku mulai meninggi. Beberapa kali kuhela napas dalam-dalam mencoba meredam letupan-letupan apa yang membakar isi kepala.

“Ini yang terakhir. Janji!”
_

Aku datang ke tempat Sam dengan dress coklat muda. Hari itu aku datang dengan memakai sepatu hak tinggi-entah-ini-berapa-centimeter yang biasanya aku hindari. Akhirnya setelah ini aku kembali bersama Sam. Menunggu akan menjadi dungu jika menunggu yang tiada ada akhirnya. Tapi, sekarang tidak. Sam memilihku untuk menjadi tunangannya. Katanya kemarin malam.

Hari ini sam menelepon agar aku datang ke tempatnya. Dia sudah memasak untuk makan malam. Ternyata Sam masih romantis seperti dulu, walalupun masih sering menjengkelkan sampai sekarang. Ya, aku akui itu!

Ketika sampai di apartementnya, aku justru kehilangan kontak dengan Sam. “Apalagi ini?” gerutuku. Berkali-kali kutelepon tapi tidak diangkat. Lagi-lagi emosiku meninggi. Kembali lagi!
Satu jam pertama, aku menunggu di depan kamarnya.

Dua jam kemudian, aku mulai melepaskan sepatu yang menyakitkannya sama seperti menelan kulit durian.

Tiga jam kemudian, akhirnya aku pergi ke taman. Mencoba kembali mengingat-ingat aku yang mencoba berdandan cantik dengan harapan yang sudah dikaitkan setinggi bintang, kemudian melihat diri sendiri yang sekarang: menyedihkan.
”Dan hilang semua impianku. Hilang semua harapanku. Hilang bersama resahku. Hilang terbawa arah..”
_

Akhirnya tiba juga harinya. Tanggal yang selama ini tertera pada kartu undangan. Warna merah jambu dihiasi tinta silver. Aku seperti bisa tersenyum bebas. Tak akan ada lagi yang membebani pikiran. Kehidupan baruku dimulai, tanpa sakit hati lagi.

Rambutku disanggul keatas dengan kebaya yang memilki warna yang senada dengan kartu undangan. Wajah dibubuhi make up berwarna pastel dan ditambah gemerlap yang terpantul dari anting yang menjuntai. Selangkah demi selangkah kaki ini mendekatkan pada karpet merah yang menghiasi pelaminan. Ini akhirnya!

Saat aku menaiki tangga pertama, banyak mata yang melihat ke arahku. Ada yang berbisik-bisik dan ada pula yang pura-pura menjelajah sudut saat tatapannya tertangkap oleh mataku. Aku tak perlu tahu apa yang dibicarakan. Aku tahu.

Tak ada yang dapat kulakukan selain tersenyum. Selangkah demi selangkah aku mencapai pelaminan. Akhirnya aku dapat menggenggam tangan Samuel lagi, dengan senyuman. Tanpa tangisan yang sepertinya jika disatukan sudah membuat iri sang hujan.

“Selamat, Sam!”

“Perhatikan jejak langkahku. Bersama harga diriku. Serendah-rendahnya namamu. Serendah-rendahnya namamu..”
Jika membuka kembali luka yang telah dijahit, itu namanya luka yang baru..
-Peri Kamar-
Sepi-sepi mulai berkelakar. Diceritakannya kenangan yang lebih menusuk dari duri sebatang mawar. Air mata tersenyum mekar..
-Peri Kamar-

Cerpen Peterpan: Sally Sendiri


Jakarta, 16 Januari 1991

Pagi ini aku mencoba untuk menemuimu. Sekedar mencari kabar tentangmu yang tiba-tiba saja menghilang. Ibumu masih cantik seperti biasanya. Dengan hangat aku disuguhi teh hijau degan aroma melati. Tapi wajahnya lebih tirus dari terakhir aku melihatnya.

Kami saling menanyakan kabar. Ternyata benar, ibumu akhir-akhir ini kurang sehat. Lalu aku menanyakan tentang kamu. Maaf, karena aku akhirnya mencari tahu dari ibumu. Salahmu sendiri tidak pernah memberi kabar. Bahkan tak pernah membalas pesan dariku, walaupun hanya satu kata.

Tapi ternyata ini semua sia-sia. Bahkan semakin menusuk hatiku. Ibumu menyuruhku melupakanmu. Aku diminta kembali ke rumah dan jangan kembali kesana lagi. Katanya kita tidak mungkin bersatu. KENAPA?
Apakah karena penyakitku? Ya, akhir-akhir ini aku sering sekali mengunjungi rumah sakit. Kata ibu, hanya periksa kesehatan. Aku tahu ada yang salah dengan tubuhku. Tapi aku berjanji akan segera sembuh jika kamu datang. Aku mohon!


Jakarta, 20 Januari 1991

Maaf aku baru bisa menulis surat sekarang. Beberapa hari ini aku sedikit lemah. Ibuku meminta untuk beristirahat. Lagipula, ada puluhan surat yang belum kamu balas. Satu pun belum. Semenjak beberapa bulan yang lalu.

Anggap saja aku sedang menulis diari. Walalupun ada yang berkata bahwa orang yang gemar menulis diari adalah orang-orang yang tak mampu menyampaikan perasaannya. Seorang penyendiri dan tidak mampu berbagi. Tapi mereka tidak salah. Aku hanyalah sebuah raga yang kehilangan jiwa. Sulit berkomunikasi lagi dengan orang-orang sekitar. Aku atau mereka yang gila, Aku tak tahu!


Jakarta, 21 Januari 1991
Sayang, sebentar lagi ulang tahunmu. Aku sudah menyiapkan kado. Ayo rayakan! Tolong balas surat ini! Ini perintah!


Jakarta, 22 Januari 1991

Aku mengerti mungkin kamu bosan. Bisa jadi kamu sudah ada penggantiku di hatimu, pilihan orangtuamu. Aku tak percaya hati sepertimu mampu goyah oleh seorang cinta yang lain.  Coba kamu ingat lagi ketika dulu!

Setiap pulang sekolah, kita selalu menghabiskan waktu bersama. Hingga saat kuliah kita tak pernah berpisah. Setiap sabtu kamu datang kerumah untuk bermain catur dengan ayah. Kadang-kadang aku yang datang ke rumahmu untuk belajar memasak pada ibumu. Walaupun sering bertengkar, kita tak pernah berpikir untuk berpisah. Sampai akhirnya kita sama-sama lulus dan mulai bekerja. Kamu akhirnya dikirim ke Banjarmasin. Waktu itu kita menangis bersama, lalu kamu berjanji akan mengirim sekotak coklat setiap minggu. Masih ingatkah, Sayang?

Kini aku terlihat menyedihkan. Bagai seekor belalang yang kehilangan kakinya. Tak mampu ke rumah atau sekedar berlari dari musuh yang ingin menerkam. Bahkan mati pun lebih baik dari pada keadaanku sekarang.


Jakarta, 25 Januari 1991

Aku sakit. Kali ini benar-benar sakit. Sudah beberapa hari demam. Jika memang kamu sedang bersama kekasihmu, bolehkah aku meminta izin untuk meminjammu? Aku rindu.

***
Wanita berkerudung biru tua itu mencoba menahan tangisnya. Tangan-tangannya yang mulai keriput terus menggenggam jemari putrinya yang sangat lemah. Sesekali dia kembali membaca kembali tulisan tangan putrinya yang selama ini disimpan.

“Ibu tahu ini untuk Vino. Ibu tahu. Tapi ibu menyimpannya. Maaf, selama ini ibu yang menyimpannya.”

Matanya berkaca-kaca, sesekali meledak bagaikan kesedihan yang terlalu lama ditahan. Ditatapnya wajah putrinya yang sudah semakin pucat. Wajah yang dahulu selalu ceria kini kaku dan dipenuhi selang-selang yang menyakiti raganya. Sudah lima hari Sally terbaring dalam koma.

“Lupakan dia, Sally. Lupakan!” bisik wanita itu lirih. Terlalu lirih hingga tak ada yang jelas terdengar. Tertupi isakan yang berkumpul di rongga mulutnya. Memakan habis semua kata yang keluar dari dalam hati.

“Sadarlah! Kalian pernah bertemu. Lima bulan yang lalu. Vino mengajakmu pegi ke Bandung dan kecela.......”

Tak ada kata yang mampu meneruskan. Bisu mulai menggerogoti ruangan yang hanya dihadiri dua wanita. Antara mereka yang menangis dan yang tak mampu lagi menangis.

Sally kau selalu sendiri
Sampai kapanpun sendiri
Hingga kau lelah menanti
Hingga kau lelah menangis

Wednesday, May 23, 2012

Aku disakiti oleh ingatan-ingatan yang terlalu tajam
-Peri Kamar-

sehari melihat kalian berpelukan

tersenyum ku terpatung dihadapku
cermin yang mengejek kesedihanku
adakah wajah sepenuh ini
airnya

pikiranku berjalan tinggalkanku
akulah patung yang tlah berdetak
jantungku sebutkan namamu
yang bodoh


gelisah  tubuhku pikirkan jiwaku
kapankah kembali berpijak
seandainya nanti tentangmu kembali
semua hanyalah dejavu luka




Saturday, May 19, 2012

Jika


jika mulutku mulai sunyi
dan  lidah tak mampu bergetar
cukup kamu menutup mata
biar hati kita yang bercerita
dan berangkulan dengan manja

jika kakiku tak lagi berdampingan
dengan sepasang kakimu yang sedang berjalan
menyusuri jalan yang biasa kita pijakkan
jangan pernah merasa sendirian
dari balik sepatumu bayanganku sudah dikaitkan

jika aku sudah tak lagi ada
jejak jemariku tetap disimpan
sentuhan-sentuhan tulus
dari tulang belulang
penuh doa yang terus diulang

jika kenangaku mulai menyusahkan
titipkan saja pada Sang Pencipta